Rabu, 21 November 2012

geng motor


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Fenomena sosial terjadi dikalangan anak muda atas tindakan anarkis geng motor. Mereka sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat takut. Adanya rasa bangga bagi anggota geng motor yang mampu merobohkan lawan, merusak harta benda orang lain, merampok, merusak fasilitas umum, merupakan musibah bagi masyarakat. Masyarakat sudah jenuh, bahkan muak dengan perilaku destruktif yang dipertontonkan anggota geng motor. Sudah banyak korban atas aksi kawanan geng motor yang mengakibatkan rasa takut dikalangan masyarakat. Ketakutan atas geng motor sudah menghantui masyarakat, tak ada lagi kedamaian di keheningan malam, karena selalu pecah oleh raungan motor dan suara ribut tawuran. Tak pernah berani keluar malam hari karena di lingkungan sekitar yang marak aktifitas geng motor.

Geng motor yang sudah terlanjur berbuat anarkis menjadi tidak takut untuk mengulanginya lagi. Lama kelamaan gerombolan geng motor ini akan tumbuh menjadi sebuah kelompok besar. Kelompok yang akan menjalani atau mengisi kehidupannya berdasarkan peraturannya sendiri tanpa mengindahkan peraturan yang dibuat pemerintah. Karena mereka ada bukan sebagai pendukung pemerintahan. Dampak yang kian meluas akibat dari tindakan geng motor ini telah mulai mengusik kenyamanan masyarakat dimana kepercayaan terhadap pihak keamanan yang berwenang mulai diragukan dengan kenyataan belum mampunya mengatasi yang namanya geng motor ini.
Geng motor merupakan wadah yang mampu memberikan gejala watak keberingasan anak muda. Perkembangannya, tak lepas dari trend dan mode yang sedang berlangsung saat itu. Maka dari itu aksi brutal itu perlu diredam. Mulanya berbuat jahat dari yang ringan seperti bolos sekolah, lama-lama mencuri, merampok dan membunuh. Lumrahnya jika sudah berani jahat ada indikasi mereka mengkonsumsi narkoba.
Tindakan yang dilakukan geng motor belakangan ini kian meresahkan warga. Geng motor kini memang menjadi salah satu perhatian utama pihak berwenang karena tindakan mereka kian berani.
Selain meminta korban sesama anggota geng, tindakan mereka juga mengambil korban masyarakat biasa. Tak salah jika masyarakat menyebut geng-geng motor tersebut tidak berbeda dengan perampok atau pencuri. Tindak kejahatan yang dilakukan sebagian besar perampasan barang berharga milik korban, seperti uang, HP, dompet, hingga motor. Dalam aksinya, mereka tak segan-segan menganiaya korban.
Jika geng motor tersebut tidak diantispasi sejak dini, dikhawatirkan kelompok-kelompok tersebut bisa kian besar menjadi sebuah jaringan kriminal terorganisisasi. Indikasi itu mulai muncul dengan tindak penganiayaan yang dilakukan oleh anggota geng motor akir-akir ini. Kalau geng motor brutal itu tidak segera dibubarkan maka akan sangat membahayakan karena terdapat solidaritas sempit yang telah didoktrinkan kepada setiap anggota geng motor tersebut, sehingga mengarah pada tindakan kriminal.
A.    Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian geng motor menurut pandangan dari sosiologi dan hukum dan dampak nya didalam masyarakat ?
2.      Bagaimana peranan keluarga dalam geng motor ?
3.      Apa solusi untuk Meminimalisir geng-geng motor ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian geng motor menurut pandangan dari segi sosiologi dan hukum dan dampaknya didalam masyarakat
Geng motor merupakan kelompok sosial yang memiliki dasar tujuan yang sama atau asosiasi yang dapat disebut suatu paguyuban tapi hubungan negatif dengan paguyuban yang tidak teratur dan cenderung melakukan tindakan anarkis. Salah satu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan oleh karenanya diyakini “pantas” untuk dipukuli) ; atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan). Adanya keyakinan bersama (collective belief) tentang suatu hal tersebut amat sering dibarengi dengan munculnya geng, simbol, tradisi, graffiti, ungkapan khas dan bahkan mitos serta fabel yang bisa diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik. Pada dasarnya kemunculan hal-hal seperti simbol geng, tradisi dan lain-lain itu mengkonfirmasi bahwa masyarakat setempat mendukung perilaku tertentu, bahkan juga bila diketahui bahwa itu termasuk sebagai perilaku yang menyimpang Adanya dukungan sosial terhadap suatu penyimpangan, secara relatif, memang menambah kompleksitas masalah serta, sekaligus kualitas penanganannya. Secara perilaku, dukungan itu bisa juga diartikan sebagai munculnya kebiasaan (habit) yang telah mendarah-daging (innate) dikelompok masyarakat itu. Adanya geng-geng motor seperti “XTC, BRIGEZ, GBR, M2R”. Maka adanya pula kecenderungan peningkatan anarki di masyarakat, sadarlah kita bahwa kita berkejaran dengan waktu. Pencegahan anarki perlu dilakukan sebelum tindakan itu tumbuh sebagai kebiasaan baru di masyarakat mengingat telah cukup banyaknya kalangan yang merasakan “asyik”-nya merusak, menjarah, menganiaya bahkan membunuh dan lain-lain tanpa dihujat apalagi ditangkap.
Para pelaku geng motor memang sudah menjadi kebiasaan untuk melanggar hukum. “Kalau soal membuka jalan dan memukul spion mobil orang itu biasa dan sering dilakukan pada saat konvoi. Setiap geng memang tidak membenarkan tindakan itu, tapi ada tradisi yang tidak tertulis dan dipahami secara kolektif bahwa tindakan itu adalah bagian dari kehidupan jalanan. Apalagi jika yang melakukannya anggota baru yang masih berusia belasan tahun. Mereka mewajarkannya sebagai salah satu upaya mencari jati diri dengan melanggar kaidah hukum. Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan dan perlu penyikapan yang bijaksana. Dalam konteks penanganan kejahatan yang dilakukan anak-anak dan remaja masih diperdebatkan apakah sistem peradilan pidana harus dikedepankan atau penyelesaian masalah secara musyawarah (out of court settlement) tanpa bersentuhan dengan sistem peradilan pidana yang lebih dominan walaupun dalam sistem hukum pidana positif kita, penyelesaian perkara pidana tidak mengenal musyawarah. Dalam kutipan dari sebuah artikel pikiran rakyat : Betapa rentan dan lemahnya anak-anak atau remaja yang melakukan kejahatan dapat dilihat dari bunyi pasal 45 KUHP. KUHP kita tidak memberi ruang sedikit pun untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan yang dilakukan anak selain melalui sistem peradilan pidana yang sering dikatakan selalu memberikan penderitaan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya khususnya pelaku kejahatan baik pelaku dewasa maupun pelaku anak-anak dan remaja. Peradilan pidana bagi anak-anak pelaku kejahatan mempunyai dua sisi yang berbeda, di satu sisi sebagaimana diakui konvensi anak-anak, bahwa anak-anak perlu perlindungan khusus. Di sisi lain, "penjahat anak-anak" ini berhadapan dengan posisi masyarakat yang merasa terganggu akibat perilaku jahat dari anak-anak dan remaja tersebut. Kemudian juga anak-anak dan remaja ini akan berhadapan dengan aparat penegak hukum yang secara sempit hanya bertugas melaksanakan undang-undang sehingga pelanggaran dan tata cara perlindungan terhadap pelaku anak, rentan terjadi.
Sebetulnya perhatian kita terhadap perlindungan anak-anak dan remaja pelaku kejahatan harus semakin meningkat. Dunia internasional pun sejak 1924 dalam deklarasi hak-hak anak kemudian diperbarui 1948 dalam deklarasi hak asasi manusia dan mencapai puncaknya dalam Deklarasi Hak anak (Declaration on The Rights of Child) 1958 menegaskan karena alasan fisik dan mental serta kematangan anak-anak, maka anak-anak membutuhkan perlindungan serta perawatan khusus termasuk perlindungan hukum. Manakala anak-anak dan remaja pelaku kejahatan tersebut bersentuhan dengan sistem peradilan pidana, masyarakat meyakini bahwa mereka sedang belajar di akademi penjahat. Hasil yang dikeluarkan oleh sistem peradilan pidana hanya akan menghasilkan penjahat-penjahat baru. Kegetiran ataupun masalah-masalah yang dihadapi anak dalam menghadapi sistem peradilan pidana tentu harus ada perhatian dan penyelesaian yang baik, namun kita juga tidak perlu mengabaikan terlaksana hukum dan keadilan, sebab peradilan menunjukkan kepada kita bahwa penyelesaian melalui pengadilan dilakukan secara benar (due process of law) demi kepentingan pelaku anak-anak dan remaja serta masyarakat di lain pihak. Satu hal penting dalam peradilan anak adalah segala aktivitas harus dilakukan atau didasarkan prinsip demi kesejahteraan anak dan demi kepentingan anak itu sendiri tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat mengingat setiap perkara pidana yang diputus pengadilan tujuannya adalah demi kepentingan publik. Akan tetapi, kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat Dalam dunia akademis penanganan delik anak selalu terfokus kepada usaha penal dengan cara menggunakan hukum pidana dan usaha nonpenal yang lebih mengedepankan usaha-usaha di luar penggunaan hukum pidana (preventif). Pendekatannya lebih mengedepankan pendekatan khusus dengan alasan pertama bahwa anak yang melakukan kejahatan jangan dipandang sebagai seorang penjahat, tetapi harus dipandang sebagai anak yang memerlukan kasih sayang. Kedua, kalaupun akan dilakukan pendekatan yuridis hendaknya lebih mengedepankan pendekatan persuasif, edukatif, serta psikologi. Pendekatan penegakan hukum sejauh mungkin dihindari karena akan menjatuhkan mental dan semangat anak tersebut untuk kembali ke jalan yang benar. Ketiga, tata cara peradilan pidana kalaupun akan dilakukan haruslah benar-benar mencerminkan peradilan yang dapat memberikan kasih sayang kepada anak-anak dan remaja tersebut.
Perlindungan hukum terhadap anak-anak dan remaja yang melakukan tindak pidana telah diberikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di samping instrumen hukum internasional berupa konvensi-konvensi yang dikeluarkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti Beijing Rules. akan tetapi, secara subtansi masih terlihat bahwa UU tentang Pengadilan Anak ini masih mengedepankan penggunaan sanksi pidana baik pidana badan maupun pidana lainnya sehingga apa yang diharapkan kepada tindakan persuasif dan edukatif belum terlihat. Dalam pengadilan anak semestinya dikembangkan konsep-konsep seperti famili model dalam sistem peradilan pidana, pelaku kejahatan apalagi anak-anak diperlakukan sebagai sebuah anggota keluarga yang tersesat dalam mengarungi kehidupan sehingga penyelesaiannya lebih mengedepankan memberikan kesempatan dan membimbing pelaku kejahatan supaya kembali lagi kepada kehidupan yang sejalan dengan norma masyarakat dan norma hukum. Tidak kalah pentingnya dalam penanganan anak-anak delikuen apabila menggunakan sarana penal melalui sistem peradilan pidana adalah kesempatan menggunakan penasihat hukum atau access to legal council. Di samping hak-hak lain yang harus dibedakan dengan pelaku dewasa. Kesempatan anak-anak pelaku kejahatan menghubungi keluarganya harus dibuka lebar-lebar oleh polisi, jaksa, maupun pengadilan mengingat seluruh subsistem peradilan pidana ini pun mempunyai kewajiban memikirkan nasib anak-anak dan remaja pelaku kejahatan ini baik ketika menjalani hukuman maupun setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Sebetulnya, ruang pengadilan yang ada sekarang ini tidak kondusif bagi peradilan pidana terhadap anak-anak delikuen. Harus diciptakan suasana ruang pengadilan yang betul-betul mencerminkan perlindungan hukum, perlindungan mental, dan suasana kasih sayang terhadap anak-anak dan remaja pelaku kejahatan sehingga kejadian terdakwa yang anak-anak menangis di pengadilan tidak terulang lagi. Pengadilan harus bisa menciptakan atau memutuskan perkara-perkara yang melibatkan anak-anak dan remaja ke arah putusan yang menjadikan pelaku anak itu menjadi baik serta menjamin hak-hak masyarakat tidak terabaikan.
B.     Peranan keluarga dalam geng motor
Untuk memberantas wabah geng motor ini, kita tidak boleh hanya mengandalkan tugas kepolisian sebagai pelindung masyarakat. Tindakan tegas dan represif kepada anggota geng motor yang sudah berkali-kali melakukan tindakan kriminal memang sangat diperlukan. Namun, masyarakat juga mempunyai tanggung jawab moral melakukan kontrol sosial untuk mencegah berkembangnya geng motor di sekitar lingkungannya.
Dalam ilmu sosiologi, kontrol sosial merupakan suatu proses yang dilakukan untuk memengaruhi orang-orang agar berperilaku sesuai harapan atau kaidah dalam masyarakat. Proses kontrol sosial ini tidak harus melalui suatu paksaan, melainkan tindakan terencana serta terus-menerus. Sehingga, menyesuaikan diri pada kebiasaan dan nilai-nilai hidup berkelompok. Bentuk-bentuk kontrol sosial dapat bersifat dari kelompok ke kelompok; kelompok ke individu; maupun individu dengan individu. Semakin banyaknya tindak kejahatan yang melibatkan remaja belasan tahun merupakan indikasi dari menurunnya fungsi-fungsi dalam keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat.
Menurut Allender (1998), salah satu fungsi keluarga yaitu fungsi socialization (sosialisasi) yang bertujuan untuk mengenalkan kultur (nilai dan perilaku) serta sebagai peraturan/pedoman hubungan internal dan eksternal. Orang tua bertanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai agama dan norma sosial agar sang anak berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang ada. Selain itu, keluarga juga berfungsi sebagai kontrol, yaitu mempertahankan kontrol sosial yang ada di keluarga. Apabila melihat karakteristik anggota geng motor yang rata-rata berusia belasan tahun, disadari atau tidak, kita sebagai orang tua turut serta dalam ’’membiayai’’ aktivitas geng motor. Sebab, pada usia sekolah hingga kuliah, kebutuhan ekonomi anak (kebutuhan uang saku, transportasi, hingga kendaraan) sangatlah bergantung ke orang tua.
Oleh karena itu, mencegah maraknya geng motor maupun kenakalan remaja yang lain harus dimulai dari revitalisasi fungsi-fungsi dalam keluarga. Salah satu fungsi keluarga yang harus kembali diperkuat adalah fungsi kontrol sosial. Hal ini bukan berarti kembali kepada metode ’’diktator’’. Seperti metode orang tua dulu. Melainkan lebih pada memberikan kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan yang diberikan tetap harus dibatasi agar tidak disalahgunakan. Menunjukkan rasa kasih sayang bukan berarti harus memenuhi segala permintaan dan keinginan sang anak. Fasilitas (hak) yang kita berikan kepada anak harus diiringi dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan. Dengan demikian, kita mendidik anak untuk lebih bertanggung jawab. Beberapa hal sederhana yang dapat dilakukan antara lain menerapkan metode imbalan dan hukuman (reward and punishment), memberlakukan jam khusus belajar, dan jam malam.
Setelah keluarga, fungsi pembinaan dan pengawasan di lembaga pendidikan (sekolah dan kampus) juga harus dioptimalkan. Anak didik diarahkan pada kegiatan-kegiatan positif dan bermanfaat dengan memfasilitasi pengembangan unit-unit kegiatan siswa. Peran lembaga pendidikan bukan sekadar meluluskan murid dengan nilai tinggi. Tapi juga bagaimana membentuk karakter dan menyiapkan fondasi yang kuat bagi pengembangan diri anak didik. Dengan adanya sinergi antara tindakan tegas dari aparat kepolisian, tanggung jawab dan kontrol sosial dari keluarga, serta pembinaan oleh lembaga pendidikan, diharapkan wabah geng motor dapat berkurang juga mewujudkan generasi muda lebih berkualitas.
C.    Solusi untuk Meminimalisir geng-geng motor
Perlu penanganan yang holistik untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan dan kenakalan yang terjadi di kalangan remaja Indonesia.  Untuk itu, antara guru, orangtua siswa, masyarakat dan pemerintah  harus bergandeng  tangan untuk menyediakan fasilitas sebagai tempat penyaluran energi remaja yang tengah tumbuh kembang. Selain menyediakan fasilitas bagi remaja untuk menyalurkan energinya ke arah positif, yang harus dilakukan adalah pendidikan karakter. Pendidikan karakter pun bukan hanya diitujukan untuk orang dewasa saja, melainkan harus dibangun sejak usia dini/taman kanak-kanak hingga sekolah menengah. Orangtua pun harus terus memantau ataupun mengawasi semua kegiatan anaknya. Dengan ikut berperannya orangtua diharapkan dapat mencegah anak-anak tersebut bergabung kedalam kelompok geng motor yang kini telah membuat keresahan didalam masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Geng motor merupakan kelompok sosial yang memiliki dasar tujuan yang sama atau asosiasi yang dapat disebut suatu paguyuban tapi hubungan negatif dengan paguyuban yang tidak teratur dan cenderung melakukan tindakan anarkis.
2.      Menurut Allender (1998), salah satu fungsi keluarga yaitu fungsi socialization (sosialisasi) yang bertujuan untuk mengenalkan kultur (nilai dan perilaku) serta sebagai peraturan/pedoman hubungan internal dan eksternal. Orang tua bertanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai agama dan norma sosial agar sang anak berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang ada.
3.      Guru, orangtua siswa, masyarakat dan pemerintah  harus bergandeng  tangan untuk menyediakan fasilitas sebagai tempat penyaluran energi remaja yang tengah tumbuh kembang. Selain menyediakan fasilitas bagi remaja untuk menyalurkan energinya ke arah positif, yang harus dilakukan adalah pendidikan karakter. Orangtua pun harus terus memantau ataupun mengawasi semua kegiatan anaknya. Dengan ikut berperannya orangtua diharapkan dapat mencegah anak-anak tersebut bergabung kedalam kelompok geng motor yang kini telah membuat keresahan didalam masyarakat.
B.     Saran
1.      Para pelaku kejahatan yang berhimpun dalam Geng tersebut, harus ditindak sesuai hukum. Sedangkan bagi anggota yang tidak terlibat pelanggaran hukum, perlu segera disadarkan dan ditangani secara persuasif.
2.      Diperlukan semua pihak yang terkait dengan kehidupan umat beragama, untuk benar-benar memahami betapa pentingnya ajaran agama dan peningkatan amaliahnya.
3.      Proses penyadaran aggota geng motor harus dilakukan dengan bimbingan konseling yang mendalam dari ahlinya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
wordpress.com/2007/01/30/pos-214
beritadotcom.blogspot.com/2007/10
www.seputar-indonesia.com Rabu, 07/11/2007